Puisikarya Taufik Ismail Demokrasi Kebun Binatang Mari kita pergi ke kebun binatang bersama-sama, Karena kita ingin mendengar gagasan pimpinan baru kota para hewan itu. Pimpinan baru kebun binatang ingin mereposisi sebuah kandang dan kandang itu kandang yang penting posisinya. MengasosiasiMenganalisis dan menyimpulkan puisi berjudul Demokrasi Kebun Binatang karya Taufik Ismail dikaitkan dengan 70 menit 4. Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi waktu pelaksaanaan demokrasi. Peserta didik diminta untuk mengerjakan tugas mandiri 3.1 yaitu mengkaji perbedaan negara demokrasi dengan negara otoriter dikaitkan dengan Sehinggatema puisi anak-anak itu berkisar diantara kehidupannya sebagai anak kecil. Contoh, mereka suka binatang peliharaan maka cendrung membuat puisi dengan tema binatang peliharaannya,atau membuat puisi tentang orang-orang disekitar merka yang ia senangi,tentang cita-citanya dan tentang keindahan seperti: alam, kupu-kupu, burung dan sebagainya. Berikutini agar adik adik dapat memahami makna demokrasi dan budaya demokrasi mari baca puisi karya Taufik Ismail. Dalam bukunya berjudul Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba Halaman 282-285, simaklah dan maknailah, berikut dibawah ini. Demokrasi Kebun Binatang. Mari kita pergi ke kebun binatang bersama-sama, Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Puisi tentang Demokrasi, Foto Hanya Ilustrasi Pexels/Nothing Ahead5 Contoh Puisi tentang DemokrasiPuisi tentang Demokrasi, Foto Hanya Ilustrasi Pexels/Suzy HazelwoodMerupakan bentuk pemerintahanYang mengizinkan warga negara berpartisipasiSecara langsung ataupun perwakilanDalam perumusan, pengembangan, Ian pembuatan hukum dinegeri iniAdanya unjuk rasa dan aksiYang terlihat di layar televisiUntuk meluapkan aspirasiAdalah salah satu bentuk demokrasiBerasal dari rakyatOleh rakyatDan untuk rakyatAdalah asas demokrasi sesuai sila keempatDemokrasi mengandung maknaPenghargaan terhadap harkat dan martabat manusiaupaya perwujudan terhadap kesejahteraan rakyatKekuasaan tertinggi di tangan rakyatKekuasaan mulai usangRuang demokrasi mulai petangTerdengar genderang perangSaling menghantam pedangRakyat tumbangPemimpin berangMusuh senangPresiden...Ke mana arah pembangunan iniKe mana arah demokrasi iniApakah ini hanya puisi?Hanya strategi mencari simpati?Maaf bapak presiden kami milenialPembangunan karakter bangsaDemokrasi pelopor strategiIni nasib kamiPresiden...Kami rakyat IndonesiaKami mau berjaKami mau berjiwa satriaTanpa kenal batasan karyaBiarkan kami berbuat jujurJujur aktif mudah diaturSiapkan aturan bertempurRumah kami jangan digusurSuarakan perbedaanNamun pemikiran terpenjaraSuarakan kesetaraanTapi tertutup soal keberagamanSuarakan kebebasanNamun tidak terima kenyataanEgois dalam bertindakHanya mau diikuti tanpa mengikutiHanya mau didengar tanpa mendengarItulah mereka sang penguasa duniaHobinya perang dengan dalil perdamaianNiscaya demokrasi semu tanpa hal yang baruTerlihat indah namun buruk untuk pencernaanHanya untuk agenda penguasa menguasai ekonomi duniaDemokrasi negeri iniSeakan telah runtuhSeperti besi toa yang berkaratDisapu angin baratKebijakan hanya hiasanPajangan pejabat atasanRakyat hilang harapanUntuk mendapatkan kesejahteraanSuara rakyatTak lagi bermanfaatHanya dianggap angin lewatSebuah realita adanyaRakyat telah menderitaKarena demokrasi telah pergi Oleh Fata Sang Pujangga* Barangkali saya adalah salah satu diantara banyak orang yang suka bercermin. Sampai-sampai saya meletakkan cermin itu selebar kamar. Wah, untuk apa? Ya, agar dapat melakukan autokritik terhadap diri saya sendiri. Minimal tidak mengatakan “monyet” pada saudara yang sebenarnya sejenis dengan saya. Sepintas, cermin-cermin itu belum cukup bagi saya untuk melihat siapa diri saya. Serius! Namun ada satu cermin lain yang tidak lazim dilakukan oleh kebanyakan orang yaitu, buku. Pernahkah kita menjadikan buku sebagai cermin? Mungkin hanya beberapa saja diantara kita, bukan? Dengan buku, saya berupaya membaca diri saya selain pada cermin yang saya sebutkan di atas. Sebab dengan cara ini, saya tidak mudah membuat orang lain tersinggung, begitu juga kalian. Iya, enggak?! Perlu kita akui ketersinggungan itu merupakan sumber konflik yang memecahkan persahabatan dan persaudaraan. Tentu kita sudah mendengar beberapa hari terakhir, yang sudah banyak diberitakan peristiwa kerusuhan di Papua. Unjuk rasa dan kerusuhan terjadi di Jayapura, Papua, serta Manokwari dan Sorong di Papua Barat, hal itu muncul bukan tanpa ada sebab. Insiden aksi rasisme dan persekusi terjadi di Surabaya dan Malang menimpa mahasiswa asal Papua yang dilakukan oleh oknum warga dan aparat keamanan, merupakan pemicu awal dari semua itu. Sangat ironis, karena celaan kata-kata monyet dan anjing itu -sebagaimana yang disampaikan oleh Dorlince Iyowau, 17/08- dilakukan oleh oknum aparat yang seharusnya menjadi pengayom yang ramah bagi masyarakat. Pertanyaanya, apakah mereka sedang tidak sadar? Apakah mereka tidak berpikir? Padahal, manusia adalah binatang yang berpikir, dan ketika mereka berhenti berpikir, maka tinggal binatangnya saja. apakah pencela ini binatang? Mau bicara kok tidak dipikir-pikir dulu. Bicara tentang rasisme yang tidak perlu diobok-obok lagi di negeri ini dan kata-kata monyet yang dilontarkan oknum aparat pada saat itu, saya tiba-tiba ingat dengan buku Sapiens karyanya Yuval Noah Harari. Dia mengatakan manusia yang tersisa saat ini adalah satu-satunya dari banyak genus Homo yang tersisa saat ini. Harari menyebutnya Homo sapiens. Harari mengatakan, suka tidak suka Homo sapiens kita-kita ini adalah anggota dari satu famili besar dan sangat berisik yang disebut kera besar. Nah loh, kera kan sejenis monyet, masak monyet ngatain monyet.—dan ini bukan teori Darwin loh, justru dia memunculkan antitesa teori evolusi Darwin. Beberapa ratus tahun lalu, ada banyak ras atau spesies yang tergolong dalam genus Homo manusia, kata Harari. Diantaranya, ya Homo sapiens, Neaderthal dan Erectus serta Denisova dan lainnya yang saat ini sudah tidak ada. Sehingga menurut Harari satu-satunya manusia yang tersisa di muka Bumi ini adalah Sapiens—ya kita-kita ini. Mengapa spesies Sapiens yang tersisah? Ada dua teori yang menjadi alasan Harari yaitu teori Pergantian dan Teori Perkawinan Silang. Saya cukup menjelaskan teori pertama saja . Teori Pergantian yang menyatakan bahwa Sapiens lah yang menggantikan spesies genus Homo atau manusia sebelumnya tanpa ada pencampuran apapun. Mengapa tinggal satu ras saja? karna ras Sapiens membantai seluruh manusia yang lainnya. Menurut Harari, motif yang paling memungkinkan proses itu terjadi adalah adanya perebutan sumber daya. Itu berarti bahwa tidak ada perbedaan ras antara masyarakat Papua, Jawa, Sumatra dan lainnya. Kita berasal dari satu ras yang sama yaitu Sapiens, yang mampu bertahan hidup sampai saat ini dari beberapa genus Homo yang ada sebelumnya. Dari penjelasan di atas, kita dapat bercermin siapa kita, siapa saudara kita, dan siapa tetangga kita? Tidak ada alasan lain bahwa kita semua adalah bersaudara. Tidak ada lagi perbedaan rasial untuk kita persoalkan. Toh, kalaupun masih ada yang mengumpat dengan kata-kata yang tidak patut, secara orang tersebut tidak sadar mengumpat dirinya sendiri. Kalau orang lain kita sebut monyet, tentu kita adalah binatang yang lebih buruk dari monyet. Atau mungkin kita sama-sama monyet ya? Maka dari itu, saya sarankan buku itu jadikan cermin, bagi oknum-oknum yang merasa terlibat dalam aksi rasisme itu. Membusuk Ada apa dengan demokrasi? Benarkah membusuk? Kalau saya jelaskan tanpa alasan, khawatir dikatakan profokatif. Patut kita ketahui bahwa calon demagog berkeliaran di negara-negara demokrasi seperti Indonesia, bahkan sekali-sekali salah satunya mencari cela untuk mendapatkan perhatian publik. Selain mereka memunculkan isu rasialisme, tindakan-tindakan persekusi dan diskriminasi sedikit-sedikit mereka tunjukkan. Mereka coba-coba menyulut perlahan untuk menyalakan paham fasisme di negeri ini. Kita juga perlu mewaspadai munculnya Orba dalam bentuk baru. Saya masih ingat akhir tahun lalu pernah membaca How Democracy Die karya Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, dimana mereka memberikan cara bagaimana mengenali otoritarianisme pada politikus yang tak punya riwayat antidemokrasi yang jelas? Melalui tulisannya Juan Linz—seorang ahli ilmu politik—mereka bedua mengembangkan satu set berisi empat tanda peringatan terkait perilaku yang bisa membantu kita mengenali tokoh otoriter. Kata mereka, sebaiknya kita khawatir apabila seorang politikus 1 menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan, 2 menyangkal legitimasi lawan sipil, 3 menoleransi atau menyalurkan kekerasan, atau 4 menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil, termasuk media. Sampai di sini, mari kita pura-pura menganalisis insiden yang menimpa mahasiswa Papua. Apakah indakator-indikator tersebut akan menjelaskan adanya tokoh otoriter atau sebuah sistem yang tidak sepenuhnya demokratis? Dimulai dari peristiwa yang terjadi di Malang, yang saat itu Aliansi Mahasiswa Papua AMP melakukan aksi damai, namun dihadang oleh ormas dan intel berpakaian preman. Mereka dipukul dengan helm dan dilempari batu, bagitu penuturan juru bicara AMP Wenne Huby yang saya baca di 15/08. Dari peristiwa itu terdapat tindakan-tindakan yang tidak demokratis, seperti membatasi kebebesan sipil, membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, melakukan kekerasan yang hal ini termasuk penjabaran dari indikator ke-empat dalam buku tersebut. Begitu pula peristiwa yang terjadi di Surabaya, tidak mungkin sekelompok aparat mendatangi asrama mahasiswa Papua tanpa ada komando dari atasan. Dari pemberitaan yang saya saksikan terdapat persekusi terhadap mereka, seolah-seolah aparat-aparat ini hendak menangkap teroris. Aparat macam apa ini? Senjata menjadi alat untuk melawan mahasiswa. Selain itu aparat ini menuduh tampa dasar yang dianggap melanggar hukum. Misal menuduh mereka membuang bendera merah putih tanpa bukti. Seolah-olah mahasiswa Papua adalah ancaman eksistensial, baik keamanan nasional maupun cara hidup yang umum. Ciri-ciri tersebut sangat erat kaitannya dengan empat indikator di atas. Itu berarti apa? Otoritarianisme sedang diuji coba kembali di negeri ini. dan tubuh demokrasi sedang membusuk, terdapat ulat-ulat jahat menggerogoti tubuhnya. Melihat integrasi bangsa ini sedang terganggu. Selain persatuan yang perlu kita kokohkan dengan meredam isu-isu rasial yang profokatif, dan memperbaiki demokrasi ini, kita perlu diam-diam mengintip ada apa dan siapa di balik semua ini? * Penulis merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional Jakarta Kulub dan Kia tiba di Kebun Binatang Ragunan. Setelah masuk lewat pintu utara 3, mereka sampai di kandang gajah. Meski tak berpagar, ada lubang seperti sungai kering yang memisahkan gajah dengan para pengunjung.“Kamu nggak kasihan dengan binatang-binatang itu? Seharusnya mereka hidup bebas di hutan atau alam liar?” Tanya Kulub. Kia menjawab pertanyaan Kulub tentang kasihan, bak diplomat ulung; “Kalau Kakak melihatnya dengan sudut pandang itu, tentu saja kasihan. Tapi, kalau dengan perspektif lain, seperti menjaga kelestarian hewan, ilmu pengetahuan dan penelitian, dan pandangan-pandangan positif yang lain, gimana?” Kulub terdiam.“Tapi, kok di sini gak ada cebong atau kampret ya? Padahal cebong ama kampret lagi viral di media sosial!?” seloroh Kulub.“Udah deh, Kak. Gak usah mempolitisir hiburan ini ah.”Kulub tertawa. “Eh, tapi ini perlu dipertimbangkan oleh pengelola dan pengurus Kebun Binatang ini. Keduanya menjadi semacam hiburan loh. Semacam dagelan di dunia perpolitikan Indonesia,” ucapnya yang kemudian menjelaskan tentang bagaimana kedua kubu pendukung capres menggunakan akal pikiran dan perspektifnya masing-masing untuk meraih simpati masyarakat. Tentu saja dengan tujuan memilih capres dan cawapres yang teringat dengan Demokrasi Binatang yang pernah ditulis Kuntowijoyo dengan judul Demokrasi Gajah, Demokrasi Kuda, dan Demokrasi Anjing. Esai tersebut ia temui di buku Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, terbitan mizan, Bandung, tahun menulis gajah dalam sirkus sudah ada target yang ditentukan oleh pelatihnya, dan pelatih selalu memberi hadiah kepada gajah ketika berhasil melakukan sesuatu yang diperintah. Kuntowijoyo menghubungkan hal tersebut dengan demokrasi. “Bila demokrasi sudah ditargetkan seperti itu namanya masyarakat tertutup. Dan itu bertentangan dengan demokrasi itu sendiri,” hadiah dapat diartikan sebagai upah yang diberikan atas kepatuhan menjalankan perintah dari pelatih baca penguasa. Kesimpulannya ialah demokrasi gajah bukanlah demokrasi yang sebenarnya. Kulub pun teringat dengan istilah sepak bola gajah yang segalanya sudah diatur sebelumnya. Terutama tentang hasil dan skor demokrasi gajah, Kuntowijoyo pun mengungkap tentang demokrasi kuda. “Mengatur orang tak ubahnya seperti mengatur dan mengendalikan kuda. Kita harus menyatu dengan kuda; kalau kuda ingin merumput, kita harus tahu. Kuda itu kita anggap saudara kita. Kuda itu tahu. Akan tetapi, siapa yang menentukan arah kemana kuda harus menuju? Ya, tentu saja penunggangnya,” ada dua hal; Pertama, yang menentukan arah, tetap penunggangnya. Kedua, kuda itu tetap menjadi kuda tunggang, tidak bebas seperti kuda liar. Satu-satunya keuntungan bagi kuda adalah ia terbebas dari gangguan satwa liar, seperti ketinggalan, Kuntowijoyo menyebut pula demokrasi anjing. “Menghubungkan anjing dengan demokrasi tidaklah sulit,” tegasnya. “Seperti diketahui, anjing butuh jalan-jalan. Dalam hal ini, yang empunya anjing terpaksa menurut. Jadi, seolah-olah anjing berada di atas angin. Akan tetapi, anjing itu tetap dimiliki. Dan jangan lupa anjing itu harus pulang ke rumah tuannya,” tambahnya tentang demokrasi pun tak ketinggalan. Dalam diamnya sambil melihat Kia yang masih sibuk mengambil gambar burung-burung, keisengan di otaknya membisiki demokrasi ala cebong dan kampret, mungkinkah?Sayangnya, Kulub urung menghubungkan demokrasi dengan cebong dan kampret. Karena ia melihat, cebong dan kampret hanya istilah negatif yang seharusnya tidak ada. Sebab, pendukung dua capres dan cawapres yang ada semuanya manusia. Terlebih teman-temannya sendiri. Kulub terbayang wajah teman-temannya yang saling adu argument. Lalu menyayangkan ketika kata cebong dan kampret terlontar dalam adu gagasan dan argument tersebut. Dan Tiba-tiba ia teringat Gusdur yang mengatakan “yang kebih penting politik adalah kemanusiaan”.“Ya, bagaimanapun mereka adalah manusia. Toh kalaupun kelakuan mereka seperti cebong atau kampret seperti yang dilontarkan masing-masing kubu, sepertinya tidak etis dan tidak bermoral jika sebutan itu terus terlontar. Cebong tetaplah cebong. Kampret tetaplah kampret. Manusia tetaplah manusia, walau kelakuan terkadang seperti binatang, bahkan lebih buruk,” pikir Kuntowijoyo menyebut demokrasi dengan nama-nama binatang, itu lebih kepada gambaran tentang bagaimana demokrasi dilaksanakan. Dan di akhir tulisannya pun ditegaskan tentang demokrasi pancasila yang mesti terus dijaga. Ya, Kuntowijoyo lebih menekankan pada bagaimana bukan siapa pelakunya. Walau ujung-ujungnya, itu akan mengarah pada pelakunya, pada siapanya Bersambung - Masa persiapan ujian sekolah di permulaan Maret 2021 memaksa saya kembali membuka buku-buku pelajaran yang sudah 1-2 tahun tak dibaca. Di tengah nihilnya keasyikan membaca buku ajar, saya kembali menemukan pembuka sebuah bab yang ganjil dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas XI dalam bab “Sistem dan Dinamika Demokrasi Pancasila”. Di luar uraian materi yang menjemukan dan penuh lingkar-putar itu, perhatian saya tertuju pada ilustrasi pembuka bab yang menyajikan puisi Taufiq Ismail, “Demokrasi Kebun Binatang”. Puisi yang termuat dalam buku Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba hal. 282-285, dikutip ulang lengkap sebagai stimulus pengantar bab. Klaim penulis buku, “Demokrasi Kebun Binatang” dicantumkan dengan maksud, “....membantu kalian memahami makna demokrasi dan budaya demokrasi.”Respons saya ketika mendapati puisi itu? Geli dan mulas. Apa pentingnya Taufiq Ismail dikutip dalam perbincangan tentang demokrasi? Ada begitu banyak ilmuwan dan pemikir politik di Indonesia yang tekun mengamati demokrasi. Lalu, mengapa Taufiq Ismail yang dipilih? Saya tak ingin menyangkal bahwa sastrawan dan karyanya tentu bisa memantik diskusi panjang tentang demokrasi. Sudah sangat sering Walt Whitman dipelajari untuk memahami visi kehidupan demokratis yang alamiah sebagaimana dibayangkan masyarakat Amerika pada abad ke-19. Sudah sangat sering pula orang membahas peran Heinrich Heine sebagai intelektual publik beserta puisi-puisinya yang mewarnai pemberontakan rakyat dalam Revolusi 1848 di Jerman. Dan tentu kita tak lupa betapa bertenaganya puisi-puisi Widji Thukul menggedor kesadaran massa untuk menjebol rezim Orde Baru. Tentu Taufiq Ismail bukan Whitman, Heine, dan Thukul. Bukunya yang disinggung dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga bukan karya sastra ataupun karya akademik, bahkan tak bisa dibilang sejarah populer. Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba terbit pada 2004, hanya berjarak 39 tahun dari pembantaian jutan manusia oleh pemerintahan teror yang ikut ia sokong pendiriannya; dan 6 tahun setelah rezim pembantai itu bubar. Katastrofi Mendunia adalah pamflet alarmist dengan daftar ancaman yang selalu bisa diperbarui pada judul di tiap edisi revisinya. Tak hanya “Marxisma”, “Leninisma”, “Stalinisma”, “Maoisma”, “Narkoba”, tapi juga, misalnya Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda 2005 Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia Migas 2006 Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia Migas, Kutu Beras 2007 Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia Migas, Kutu Beras, Penista Agama 2017 Katastrofi Mendunia Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia Migas, Kutu Beras, Penista Agama, Mobile Legend 2018 Bagaimana mungkin kita bisa belajar “memahami makna demokrasi dan budaya demokrasi” dari karya yang hanya menjual ketakutan dan pepesan kosong? Masalahnya, dampak dari kerja-kerja orang seperti Taufiq Ismail sebagai apologis rezim berdarah tak berhenti sampai di situ. Taufiq Ismail adalah bagian warisan zaman lapuk yang mengajarkan kepada kita semua untuk tidak jujur pada Pancasila Mari kita masuk ke ihwal yang lebih substansial. Kengawuran buku ajar ini juga mengingatkan saya pada kontroversi seputar pengesahan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila Juni 2020 lalu. Beberapa dari kita mungkin mengingatnya sebagai rangkaian polemik di televisi dan di media sosial tentang relevansi produk hukum ini. Sebagian besar opini publik mengarah kepada ketidaksetujuan karena substansi undang-undang yang dinilai tendensius hendak menyelewengkan Panca Sila menjadi Tri Sila dan Eka Sila; sebagian lain menyoroti masalah pencabutan Ketetapan no. XXV/MPRS/1966 tentang sembilan bulan, saya terus teringat akan serangkaian unjuk-rasa di depan Kompleks Parlemen Senayan yang menentang pengesahan RUU sambil menebar prasangka dan desas-desus “penyusupan komunis” dalam mekanisme legislasi tersebut. Syakwasangka yang menggelikan itu membuat saya tak habis pikir. Selain mengandung kelucuan di atas rata-rata, tuduhan keblinger bahwa “Eka Sila adalah bukti misi komunis yang mau mengganti sila ketuhanan” juga menunjukkan simpul kebutaan sejarah dan kelumpuhan nalar kritis akibat warisan budaya sensor peninggalan Orde Baru. Tapi, dari mana sebenarnya opini nirbobot macam ini bisa muncul? Soeharto memang sudah mati, tetapi hantu Orde Baru terus menghantui langkah ke mana bangsa ini hendak bertolak. Dan hantu itu bertahun-tahun lamanya bersemayam di buku pelajaran—dan secara eksplisit dalam kurikulum—Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan selanjutnya PPKN yang disusun dan diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2014. Tiga kata yang dapat saya gunakan untuk merepresentasikan karakteristik buku dan kurikulum ini—sesudah mempelajarinya selama mengenyam bangku sekolah—adalah sesat, picik, dan gagal move on dari ideologi keblinger Orde Baru. Karena karakteristik macam ini pula, saya tidak segan menuding biang salah kaprah seputar Eka Sila adalah mata pelajaran yang sengaja didesain para gedibal Orde Baru dengan tujuan mencetak kultur seragam yang tegak berdiri di atas kedunguan, sehingga bila penguasa bertindak sewenang-wenang, rakyat cukup menerima dan pasrah, tidak melawan, apalagi merombak watak kekuasaan itu sendiri. "Juru Selamat" Palsu “Disinformasi”—yang sering dipertukarkan dengan “hoaks” atau “fitnah” atau “berita palsu”—adalah kata yang hari-hari ini sering terlontar dari mulut aparat negara. Blunder kebijakan sering dialamatkan pada “disinformasi”. Para penolak RUU yang tak populer seperti Omnibus Law kerap dituduh menyebarkan informasi palsu. Bahkan peringatan atas ancaman COVID-19 awalnya ditanggapi oleh pemerintah sebagai “hoaks”. Salah satu “disinformasi” yang dampaknya bisa menjangkau beberapa generasi sekaligus rupanya ada di buku PPKn Kelas XII. Pada halaman 112, buku itu menyebutkan keterangan bahwa Eka Sila adalah pemerasan Panca Sila yang kongruen dengan trias Nasionalisme Agama Komunisme Nasakom. Di sini saya kutipkan paparan itu yang verbatim berbunyi, “Salah satu penyimpangan tersebut—dalam masa Demokrasi Terpimpin—adalah terjadinya pemerasan dalam penghayatan Pancasila. Pancasila yang diperas menjadi tiga unsur yang disebut Trisila, kemudian Trisila ini diperas lagi menjadi satu unsur yang disebut Ekasila. Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom nasionalis, agama dan komunisme.” Jika kita berniat jujur pada sejarah, mengapa kutipan asli dari perumus “Ekasila” ini tak disertakan? Saya kutip dari penjelasan langsung sang perumus Panca Sila, Sukarno, dalam pidatonya yang kemudian diberi tajuk “Lahirnja Pantja Sila”. “Djikalau saja peras jang lima mendjadi tiga dan jang tiga mendjadi satu, maka dapatlah saja satu perkataan Indonesia jang tulen, jaitu perkataan g o t o n g - r o j o n g! Negara Indonesia jang akan kita dirikan haruslah negara gotong-rojong! Alangkah hebatnja, negara gotong-rojong!” Salahkah mengutip Sukarno dalam pidato itu? Tidak, kecuali jika sejak awal Anda mempraktikkan akrobat logika dengan meloncat langsung kepada kesimpulan bahwa kutipan asli Sukarno tak perlu dipelajari karena berasal dari masa Demokrasi Terpimpin dan bahwa Demokrasi Terpimpin jahat adanya. Siswa tidak diberikan kesempatan menelaah sumber primer seperti pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang tak lain adalah bagian penting dari pertarungan gagasan selama “Demokrasi Terpimpin”. Dan itulah yang terjadi pada buku ini. Uraian “Demokrasi Terpimpin” beserta dinamika Indonesia masa itu cenderung diukur dengan barometer “Demokrasi Pancasila” made in Orde Baru. Seakan-akan “Demokrasi Pancasila” ala Orde Baru adalah puncak peradaban, sumber nilai pamungkas masyarakat, dan akhir sejarah. Siswa tak mendapat penjelasan mengapa “Demokrasi Terpimpin” dipilih sebagai jalan keluar atas resah-rusuh kabinet selama 10 tahun sejak 1950-1959. Tak dijelaskan pula bagaimana usulan Dekrit Presiden—yang mengawali Demokrasi Terpimpin—muncul dari tubuh tentara sendiri, tepatnya dari Jenderal Nasution. Sulit berharap PPKN mampu menjelaskan mengapa, sejak 1966, Orde Baru dan bangsa Indonesia harus berbakti pada kehendak Washington secara umum dan modal multinasional secara khusus; atau mengapa Indonesia memainkan peranan penting sebagai salah satu pelopor pergerakan rakyat Asia Afrika pada 1955 dan setelahnya. Tidaklah perlu menjangkau masalah-masalah klasik seperti legitimasi SP 11 Maret, praktik pembantaian dan pemenjaraan massal sonder peradilan, atau duit yang dibegal lewat yayasan-yayasan Cendana berpuluh tahun lamanya. Alasannya sederhana saja PPKN terang berusaha menafikan realitas Indonesia pra-Orde Baru dan berasumsi bahwa “Orde Lama”—istilah yang lebih sering digunakan guru PPKN, alih-alih “Demokrasi Terpimpin”—adalah banaspati yang menjerat Indonesia dan Orde Baru ialah juru selamat untuk membebaskan Picik dan Tumpulnya Daya Kritis Tak hanya menebar disinformasi, kurikulum PPKN juga menjebak siswa dalam slogan-slogan yang merayakan nasionalisme picik dan pengkultusan terhadap institusi TNI-Polri. Sebut saja yang paling terkenal yaitu “NKRI Harga Mati”. Slogan yang pertama dicetuskan Muslim Rifai Imampuro, mantan pemimpin Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten sekitar tahun 1983 ini, mulanya digunakan untuk menegaskan komitmen kelompok Islam atas Pancasila di tengah paksaan untuk menerima Asas Tunggal di bawah Orde Baru. Akan tetapi, slogan ini menemukan kehidupannya yang kedua sejak 1998-1999, ketika konflik komunal meletus di banyak tempat di Indonesia. Sejak itu, tak terhitung sudah berapa kali slogan ini direproduksi militer untuk menjustifikasi perannya di bidang-bidang yang tak berhubungan dengan perang—termasuk politik dan kehidupan sosial sehari-hari. Di sinilah letak masalah besarnya. Tanpa pembekalan sungguh-sungguh mengenai prinsip-prinsip kewargaan dan kebangsaan yang cukup, doktrin “NKRI Harga Mati” yang diajarkan kepada siswa melulu diulang-ulang sebagai sebuah mantra. Di sana tidak ada pemahaman yang lebih dalam tentang makna bangsa sebagai sebuah persatuan manusia dan tempat. Setelah “NKRI Harga Mati”, nasionalisme Indonesia tak lagi menjadi spirit emansipasi bekas bangsa terjajah. “NKRI Harga Mati” ini kemudian berkembang menjadi sebentuk paham chauvinis bahwa Indonesia bersatu karena kesamaan rasa kebencian, bukan karena sikap dan komitmen politik antar-golongan untuk membangun negara-bangsa merdeka; bahwa peran tentara lebih krusial daripada diplomasi selama revolusi fisik 1945-1949; dan bahwa aneksasi Indonesia atas Papua dan Timor-Timur dilatarbelakangi kesukarelaan rakyat masing-masing daerah kepada pemerintah. Pendeknya “pemerintah selalu baik dan tak bisa salah” serta “rakyat bisa tersesat ke jalan yang salah, harus dibimbing, dan karena itu harus patuh pada pemerintah. Jangan heran jika kemudian slogan “NKRI Harga Mati” turut dipakai untuk menggebuk siapapun yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Berkat pandangan “pemerintah selalu bermaksud baik” ini pula, siswa sekolah negeri umum mengalami penumpulan daya kritis dan tak bernyali mengkritik kebijakan pemerintah. Pada titik inilah, tercapai tujuan menyeluruh dari PPKN, yaitu menciptakan “warga negara yang baik” dalam situasi apapun, termasuk ketika negara “tidak sedang baik-baik saja” dan orang-orang tidak baik berduyun-duyun merapat ke lingkaran kekuasaan. Jangan harap PPKN sudi membahas potret masyarakat adat yang digusur atas nama Undang-Undang Cipta Kerja, apalagi transformasi Polri yang kini multifungsi dan semakin represif terhadap gerakan rakyat. Tak usah berharap PPKN akan memuat materi mengenai ketidakadilan jender dan perusakan lingkungan. Terhadap isu-isu tersebut, siswa cukup mengetahui, tidak usah membedah, apalagi mengevaluasi mengapa negara selalu berpihak pada kaum kaya. Dan akhirnya, buku PPKN menutup-nutupi cela besar di dalam sejarah Orde Baru yang sarat pelanggaran hak-hak asasi manusia. Terlihat dari buku PPKN Kelas XI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014 halaman 20 yang hanya menyebutkan lima kasus pelanggaran HAM secara singkat, yakni Tragedi Tanjung Priok 1984, Kudatuli 1996, Penembakan Mahasiswa Trisakti Mei 1998, Tragedi Semanggi I 1999, dan Penculikan 13 Aktivis 1996-1997. Semua kasus itu dikutip sebagai basa-basi belaka, tanpa penjelasan siapa korban dan siapa pelaku. Dan basa-basi itu punya pesan penting buat kita semua Hak-hak warganegara yang berulangkali dilanggar tidak terlalu penting disosialisasikan sejak dini karena, wahai Bung dan Nona, nyawa betul-betul diobral murah di republik ini. Bukan mustahil jika perjuangan para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu pelan-pelan akan hilang ditimbun narasi sejarah yang tekun memuliakan arogansi rezim haus darah. Zaman berubah. Masyarakat berubah. Definisi “warga negara yang baik” pun seharusnya turut berubah. Sudah saatnya kepatuhan dan keberpihakan tanpa syarat kepada penguasa sebagai barometer loyalitas warganegara dibuang jauh-jauh sebagai kenangan zaman otoriter yang jahiliyah itu. Barulah, jika keberanian mempreteli doktrin nasionalisme chauvinis itu sudah diraih, Indonesia Emas 2045 akan diisi generasi yang memahami makna sejati nasionalisme, yaitu kecintaan besar pada tanah air, bukan kepada pemerintah yang berkuasa!* Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

puisi demokrasi kebun binatang